Tulisan yang menarik dari Helvy Tiana Rosa :) Saya pribadi dulu (sampai awal-awal kuliah) termasuk pribadi yang introvert, tomboy, dan tidak mudah tersenyum. Mungkin ini pengaruh dari kehidupan orang tua saat itu. Tapi, semenjak kuliah di luar kota & jauh dari orang tua, menemukan lingkungan baru yang sangat mendukung, sampai saya mendapatkan suatu momen perubahan. Apa itu? Ya, saya ditegur seorang dosen sekaligus kakak yang baik saat itu karena saya hampir tidak pernah tersenyum ;)
Sejak itu saya banyak membaca buku-buka humaniora atau psikologi populer. Saya masih ingat buku pertama yang saya baca saat itu (tahun 1995) adalah buku Dale Carnegie, "How to Win Friends & Influence People". Kenapa buku ini? Simple aja karena buku ini "Best Seller" saat itu :) Jadi, cukup menarik perhatian saya. Setelah itu, saya terus mengkoleksi buku-buku humaniora lainnya disamping buku-buku kuliah, sampai cukup membuat kamar kost saya saat itu penuh buku :) Aktifitas ini terhenti setelah buku-buku saya hancur akibat banjir tahun 2002 yang melanda rumah orang tua di Surabaya. Alhasil, buku-buku saya koleksi saat kuliah banyak yang tidak keruan wujudnya.
Ternyata "Senyum" itu banyak manfaatnya lohhhh.... Selain karena "Senyum itu Ibadah", ternyata dari pengalaman pribadi, senyum itu membawa energi kebahagiaan yang masuk ke dalam diri beserta aliran udara yang kita hirup. Kalau kemudian orang lain melihat kita tersenyum & ikut juga tersenyum, berarti kita telah menyebarkan virus-virus kebahagiaan kepada orang lain.
Keep your day with smiling..... :) :) :) :) :)
Salam,
Febby Rudiana
www.Alif-Collection.com
*******************************************************************************
BELAJAR CINTA dari FAIZ
Apa yang menyebabkan kita menyapa atau tidak menyapa, saat bertemu seseorang? Kebanyakan kita menyapa karena kita mengenal atau minimal mengetahui seseorang itu. Bisa juga karena kita menyukai atau menghormati orang tersebut, karena memang kebiasaan, atau punya keperluan. Mungkin juga sekadar basa basi. Apa pun itu, saya belajar banyak soal ini dari seorang anak kecil yang berbeda umur 26 tahun dari saya.
Setiap hari saat berjalan kaki menuju sekolahnya yang tak begitu jauh dari rumah, Faiz akan melewati deretan panjang rumah yang ada di sekitar kami. Empat tahun yang lalu, ketika Faiz masih TK, saya takjub menyaksikan bagaimana cara ia menyapa! Semua tetangga yang kebetulan dilewati atau ditemuinya di jalan, tak akan luput dari teguran ramah disertai senyum lebar Faiz.
"Selamat pagi, Pak, selamat pagi, Bu...."
"Assalaamu'alaikum. ..."
"Mari Oma, mari Opa..."
"Dari mana, Tante?"
"Wah hari ini Kakak berseri sekali!"
"Mau kuliah, Bang?"
"Eh, ketemu adik cakep. Mau kemana pagi-pagi sudah rapi?"
Dan seterusnya.. ..
Saat ia duduk di kelas II SD, saya pernah bertanya pada Faiz," Mas Faiz,apa kamu tak lelah menyapa begitu banyak orang setiap pagi?"
Faiz tertawa. "Tidaklah, Bunda. Aku senang karena senyum dan sapaku mungkin bukan mengawali pagiku saja. Tapi mengawali pagi orang lain. Lagipula senyum itu kan sedekah, Bunda."
Saya nyengir. Pernyataan yang unik dari anak yang waktu itu belum berumur delapan tahun. "Subhanallah. Kalau dihitung dengan uang, sedekahmu mungkin sudah milyaran," ujar saya sambil mencium pipi Faiz yang memerah.
Setiap kali hadir pada arisan yang diadakan ibu-ibu sekitar rumah, mereka kerap membicarakan Faiz.
"Waduh, Faiz itu ramah sekali ya, Bu. Kalau bertemu saya selalu menegur lebih dulu, senyumnya manis sekali."
"Kok bisa seperti itu sih, Bu? Bagaimana mendidiknya?"
Saya tersenyum. Bagaimana mengatakannya? Sesungguhnya saya tak pernah mendidik Faiz secara khusus untuk menyapa dan tersenyum. Sayalah yang banyak belajar dari Faiz!
Terbayang lagi berbagai peristiwa yang terjadi sejak Faiz mulai duduk di bangku SD.
Ketika ia ada di teras rumah, semua pengemis yang lewat selalu dipanggilnya, diajak makan dan minum. "Hari ini di rumah masak sop dan perkedel." Atau "Bapak mau bawa kopi untuk di jalan biar tidak mengantuk?
Mau teh manis dingin?" Ia akan berlari ke kamar, mengambil celengan dan mengeluarkan lembaran kertas dari sana untuk diberikan pada mereka.
Belum lagi, semua tukang jualan, tukang sol sepatu, yang lewat pun disuruh mampir. Ada saja yang ditawarkannya. "Istirahat dulu di sini, Pak. Kan capek. Hari panas sekali. Sini, makan kue dan minum dulu. Atau mau makan nasi?" Selain itu ia pun akan bisik-bisik pada anggota keluarga lainnya untuk membeli sesuatu dari tukang jualan itu, meski kami tak terlalu membutuhkannya. "Apa salahnya sih menolong orang?" ujarnya.
Maka di rumah mungil yang kami tempati, tak pernah ada hari di mana kami memasak sekadar pas untuk keluarga. Selalu ada tamu-tamu istimewa yang entah siapa. Faiz mengundang mereka secara tak terduga.
"Ikhlas yaaa, Bunda...," katanya sambil tersenyum manis.
Lalu apakah ada lagi yang bisa saya ucapkan, meski dengan terbata Saya hanya mampu memeluk Faiz kuat-kuat. Terima kasih sayang telah mengajari Bunda akan CINTA.
(Helvy Tiana Rosa)
sumber: Motivasi Net
Tuesday, October 30, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment