Wednesday, October 29, 2008

MUDIK LEBARAN 2008

Mumpung masih pagi & pikiran masih fresh, saya coba sempatkan untuk menulis cerita mudik lebaran kemarin. Kalau nggak, pasti gak bakalan tercatat di blog ini lagi deh....seperti sebelumnya. Karena yang namanya kesibukan, apalagi kalau punya anak yang masih kecil-kecil seperti saya, nggak bakalan habis-habis. Belum lagi urusan usaha. Anyway, itulah seni dalam hidup ini, penuh cerita & warna. Just enjoy it :) Mungkin kalau nanti saya sudah tua & blog ini masih ada, saya akan tersenyum atau tertawa sendiri mengingatnya :))

Mudik Lebaran kali ini, kami sekeluarga pergi ke kampung halaman Suami di Medan. Biasanya sih, kalau mudik lebaran selalu ke rumah orang tua saya di Surabaya. Berhubung tahun ini rencana mudik kami ke Medan, jadi sebulan sebelumnya saya & keluarga pergi ke Surabaya dulu untuk silaturahmi sekalian menghadiri acara reuni SMA saya (SMADA).

Berangkat ke Medan dapat tiket pesawat Lion Air, demikian juga pulangnya. Masih cukup mahal tarifnya, karena masih musim lebaran. Saat perjalanan dari Jakarta menuju Medan, take 0ff & landednya cukup membuat sport jantung nih. Kasar & menderu suaranya. Saya hanya bisa berdoa dalam hati & berzikir, semoga semuanya tidak ada masalah.

Kata Suami saat itu, mungkin karena tempat duduk kami no.22 yang bertepatan di atas posisi roda & sayap pesawat. Entahlah...tapi saya rasa bukan cuma itu. Alhamdulillah, kami tiba di Medan dengan selamat. Pulangnya, saat perjalanan dari Medan ke Jakarta dengan pesawat Lion Air juga, alhamdulillah lebih mulus & tidak terasa saat take off maupun landed. Padahal di tengah-tengah jalan pilot sempat menyampaikan ada kondisi cuaca agak buruk.

Tiba di bandara Polonia, Medan yang terasa cuma laper & pengin makan Soto Medan. Setelah mobil sewaan datang ditemani para ponakan saya, pergilah kami cari si Soto Medan. Keliling lumayan agak lama nggak dapat, mungkin karena masih suasana lebaran, jadi warung pada tutup kali ya... Akhirnya dapat juga di rumah makan Soto Medan Purwodadi. Walah...gak salah nih :) Jualan Soto Medan tapi merknya Purwodadi. He..he..kaya Bika Ambon tapi merknya dari Medan. Setelah menunggu pelayanan yang super duper lama.... akhirnya datang juga pesanan Soto Medan kami. Rasa soto lumayan enak, sayang pelayanan yang sangat lambat dan antar pelayan yang malah saling salah menyalahkan membuat suasana makan sangat tidak nyaman.

Lepas kenyang makan, kami melanjutkan perjalanan menuju komplek Inalum, Tanjung Balai, sekitar dua jam lebih dari kota Medan. Sepanjang jalan banyak perkebunan sawit, coklat, dan entah apa lagi. Tapi, setahu saya sawit & coklat adalah komoditas utama disini.

Tiga hari pertama kami gunakan untuk berkeliling Tanjung Balai, Kisaran, dan Tebing Tinggi mengunjungi sanak famili. Suguhan favorit kami adalah kerang batu dicocol pakai sambal nanas :) Di Tebing Tinggi tak lupa mampir beli makanan favorit saya, yaitu Roti Cane pakai kuah gulai atau dengan gula saja. Enak bangetttt.... Nggak lupa keliling Tebing naik Becak Motor. Sayang gak sempet ambil fotonya :( Malamnya mampir lagi makan Mie keling & sate kerang di pasar. He..he..kemana-mana pastinya harus ada wisata kuliner :)

Tebing Tinggi sebenarnya terkenal sebagai "Kota Lemang". Itu tuh makanan jajanan yang terbuat dari ketan yang dibakar didalam wadah bambu. Bisa dimakan gitu aja atau dicocol pakai srikaya. Plus terkenal juga banyak durian enak & murah-murah disini. Sayang waktu saya kesana katanya bukan musimnya durian.

Dua hari selanjutnya kami pakai menginap di BRASTAGI. Seperti Puncak-lah kalau di Jakarta. Perjalanan dari Tanjung Balai memakan waktu sekitar 4 jam. Fiuhh...capek juga. Kami menginap di Hotel Mickey Holiday. Very recomended hotel kalau di Brastagi mah. Sebelah hotel ada tempat mainan anak-anak sejenis Dufan kecil-lah. He..he..ini juga yang selalu dicari kalau rekreasi sama anak-anak. Anak-anak juga suka banget naik kuda di Brastagi.

Di Brastagi tak lupa beli souvenir kaos & oleh-oleh Sirup Markisa botol. Sampai nyari ke pabriknya segala loh....:)) Brastagi memang terkenal sebagai "Kota Markisa". Dan memang gak sia-sia, rasa sirup markisanya emang beda dengan sirup markisa yang biasa ada di supermarket di Jakarta. Rasa Markisanya lebih terasa.

Balik ke Medan, sebelum ke Bandara Polonia, mampir dulu beli oleh-oleh Bika Ambon Medan. Satu jalan itu penuh dengan penjual bika ambon. Apa ya nama jalannya, lupa deh. Yang pasti favorit saya yang merk "ATIK". Selain bika ambon, sebenarnya ada juga bolu yang bisa dibuat oleh-oleh.

Nah...selesai sudah cerita singkat liburan keluarga saya ke Medan & sekitarnya.

Salam,

Febby Rudiana
www.Alif-Collection.com
www.Bibo-Collection.com
www.Bibo-Collection.blogspot.com (khusus Distributor & Agen)



Monday, October 27, 2008

Back To Work

Alhamdulillah... setelah berlibur selama seminggu di kampung halaman Suami di Medan, saya mulai kembali ke rutinitas harian. Cukup menyenangkan bisa mengunjungi keluarga yang sudah lama tidak bersua. Jarang-jarang bisa pulkam ke Sumatra soalnya. Tiga tahun sekali belum tentu. Jadi, kami bersyukur tahun ini bisa berkesempatan pulkam. Banyak tempat yang kami kunjungi. Mulai dari Medan, Tanjung Balai, Kisaran, Tebing Tinggi, dan Brastagi.

Soal cerita-cerita liburannya nanti saja ya...berhubung masih banyak kerjaan yang sudah menunggu. Ini masalah klasik lagi, dimana sampai sekarang saya belum berhasil mendapatkan asisten usaha yang pas, jadi masih banyak pekerjaan yang harus dikerjakan sendiri oleh owners. He...he...tipikal usaha UKM ya...:)

Alhamdulillahnya...mungkin Allah mendengar permasalahan saya, sehingga suatu hari saya mendapat kunjungan seorang pelatih bisnis yang mau jauh-jauh datang ke tempat saya (gratis lagi) & membantu memetakan permasalahan dan insya'allah bisa membantu mencarikan solusinya. Meski belum terjawab semuanya, at least saya memiliki gambaran prioritas apa yang harus dilakukan.

Jadi, beberapa bulan ini akan saya fokuskan untuk membenahi manajemen usaha & waktu. Disamping menambah lagi pengetahuan & ilmu baru agar otak tidak jadi karatan karena tidak banyak diasah.

Oh ya, ada satu lagi rencana training yang sudah ditetapkan tahun ini, tapi belum kesampaian. Yaitu, training ESQ. Ya...bagaimanapun hati & emosi juga harus banyak dimanage karena pengaruhnya jauh lebih besar dalam pencapaian kesuksesan dunia & akhirat. Insya'allah....

Salam,

Febby Rudiana

Owners of:
ALIF Collection
Koleksi Fashion Remaja & Dewasa
Pulogadung Trade Center (PTC) 
lt. Dasar (Ground), No.71           
Jl. Raya Bekasi, Kawasan Industri JIEP
Jakarta Timur
www.Alif-Collection.com

BIBO Collection 
Koleksi & Produksi Baju Muslim Anak merk BIBO & aneka Fashion Anak-anak
Pulogadung Trade Center (PTC) 
lt. Dasar (Ground), No.79 & 80
Jl. Raya Bekasi, Kawasan Industri JIEP
Jakarta Timur
www.Bibo-Collection.com
   

Friday, October 17, 2008

Kalau Langit Masih Kurang Tinggi

Indo Pos, Minggu, 28 Sept 2008
Jluntrungan Krisis Subprime di Amerika Serikat

Kalau Langit Masih Kurang Tinggi
Oleh: Dahlan Iskan

Meski saya bukan ekonom, banyak pembaca tetap minta saya "menceritakan" secara awam mengenai hebatnya krisis keuangan di AS saat ini. Seperti juga, banyak pembaca tetap bertanya tentang sakit liver, meski mereka tahu saya bukan dokter. Saya coba:

Semua perusahaan yang sudah go public lebih dituntut untuk terus berkembang di semua sektor. Terutama labanya. Kalau bisa, laba sebuah perusahaan publik terus meningkat sampai 20 persen setiap tahun. Soal caranya bagaimana, itu urusan kiat para CEO dan direkturnya.

Pemilik perusahaan itu (para pemilik saham) biasanya sudah tidak mau tahu lagi apa dan bagaimana perusahaan tersebut dijalankan. Yang mereka mau tahu adalah dua hal yang terpenting saja: harga sahamnya harus terus naik dan labanya harus terus meningkat.

Perusahaan publik di AS biasanya dimiliki ribuan atau ratusan ribu orang, sehingga mereka tidak peduli lagi dengan tetek-bengek perusahaan mereka.

Mengapa mereka menginginkan harga saham harus terus naik? Agar kalau para pemilik saham itu ingin menjual saham, bisa dapat harga lebih tinggi dibanding waktu mereka beli dulu: untung. Mengapa laba juga harus terus naik? Agar, kalau mereka tidak ingin jual saham, setiap tahun mereka bisa dapat pembagian laba (dividen) yang kian banyak.

Soal cara bagaimana agar keinginan dua hal itu bisa terlaksana dengan baik, terserah pada CEO-nya. Mau pakai cara kucing hitam atau cara kucing putih, terserah saja. Sudah ada hukum yang mengawasi cara kerja para CEO tersebut: hukum perusahaan, hukum pasar modal, hukum pajak, hukum perburuhan, dan seterusnya.

Apakah para CEO yang harus selalu memikirkan dua hal itu merasa tertekan dan stres setiap hari? Bukankah sebuah perusahaan kadang bisa untung, tapi kadang bisa rugi?

Anehnya, para CEO belum tentu merasa terus-menerus diuber target. Tanpa disuruh pun para CEO sendiri memang juga menginginkannya. Mengapa? Pertama, agar dia tidak terancam kehilangan jabatan CEO. Kedua, agar dia mendapat bonus superbesar yang biasanya dihitung sekian persen dari laba dan pertumbuhan yang dicapai. Gaji dan bonus yang diterima para CEO perusahaan besar di AS bisa 100 kali lebih besar dari gaji Presiden George Bush. Mana bisa dengan gaji sebesar itu masih stres?

Keinginan pemegang saham dan keinginan para CEO dengan demikian seperti tumbu ketemu tutup: klop. Maka, semua perusahaan dipaksa untuk terus-menerus berkembang dan membesar. Kalau tidak ada jalan, harus dicarikan jalan lain. Kalau jalan lain tidak ditemukan, bikin jalan baru. Kalau bikin jalan baru ternyata sulit, ambil saja jalannya orang lain. Kalau tidak boleh diambil? Beli! Kalau tidak dijual? Beli dengan cara yang licik dan kasar! Istilah populernya hostile take over.

Kalau masih tidak bisa juga, masih ada jalan aneh: minta politisi untuk bikinkan berbagai peraturan yang memungkinkan perusahaan bisa mendapat jalan.

Kalau perusahaan terus berkembang, semua orang happy. CEO dan para direkturnya happy karena dapat bonus yang mencapai Rp 500 miliar setahun. Para pemilik saham juga happy karena kekayaannya terus naik. Pemerintah happy karena penerimaan pajak yang terus membesar. Politisi happy karena dapat dukungan atau sumber dana.

Dengan gambaran seperti itulah ekonomi AS berkembang pesat dan kesejahteraan rakyatnya meningkat. Semua orang lantas mampu membeli kebutuhan hidupnya. Kulkas, TV, mobil, dan rumah laku dengan kerasnya. Semakin banyak yang bisa membeli barang, ekonomi semakin maju lagi.

Karena itu, AS perlu banyak sekali barang. Barang apa saja. Kalau tidak bisa bikin sendiri, datangkan saja dari Tiongkok atau Indonesia atau negara lainnya. Itulah yang membuat Tiongkok bisa menjual barang apa saja ke AS yang bisa membuat Tiongkok punya cadangan devisa terbesar di dunia: USD 2 triliun!

Sudah lebih dari 60 tahun cara "membesarkan" perusahaan seperti itu dilakukan di AS dengan suksesnya. Itulah bagian dari ekonomi kapitalis. AS dengan kemakmuran dan kekuatan ekonominya lalu menjadi penguasa dunia.

Tapi, itu belum cukup.

Yang makmur harus terus lebih makmur. Punya toilet otomatis dianggap tidak cukup lagi: harus computerized!

Bonus yang sudah amat besar masih kurang besar. Laba yang terus meningkat harus terus mengejar langit. Ukuran perusahaan yang sudah sebesar gajah harus dibikin lebih jumbo. Langit, gajah, jumbo juga belum cukup.

Ketika semua orang sudah mampu beli rumah, mestinya tidak ada lagi perusahaan yang jual rumah. Tapi, karena perusahaan harus terus meningkat, dicarilah jalan agar penjualan rumah tetap bisa dilakukan dalam jumlah yang kian banyak. Kalau orangnya sudah punya rumah, harus diciptakan agar kucing atau anjingnya juga punya rumah. Demikian juga mobilnya.

Tapi, ketika anjingnya pun sudah punya rumah, siapa pula yang akan beli rumah?

Kalau tidak ada lagi yang beli rumah, bagaimana perusahaan bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan penjamin bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan alat-alat bangunan bisa lebih besar? Bagaimana bank bisa lebih besar? Bagaimana notaris bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan penjual kloset bisa lebih besar? Padahal, doktrinnya, semua perusahaan harus semakin besar?

Ada jalan baru. Pemerintah AS-lah yang membuat jalan baru itu. Pada 1980, pemerintah bikin keputusan yang disebut "Deregulasi Kontrol Moneter". Intinya, dalam hal kredit rumah, perusahaan realestat diperbolehkan menggunakan variabel bunga. Maksudnya: boleh mengenakan bunga tambahan dari bunga yang sudah ditetapkan secara pasti. Peraturan baru itu berlaku dua tahun kemudian.

Inilah peluang besar bagi banyak sektor usaha: realestat, perbankan, asuransi, broker, underwriter, dan seterusnya. Peluang itulah yang dimanfaatkan perbankan secara nyata.

Begini ceritanya:

Sejak sebelum 1925, di AS sudah ada UU Mortgage. Yakni, semacam undang-undang kredit pemilikan rumah (KPR). Semua warga AS, asalkan memenuhi syarat tertentu, bisa mendapat mortgage (anggap saja seperti KPR, meski tidak sama).

Misalnya, kalau gaji seseorang sudah Rp 100 juta setahun, boleh ambil mortgage untuk beli rumah seharga Rp 250 juta. Cicilan bulanannya ringan karena mortgage itu berjangka 30 tahun dengan bunga 6 persen setahun.

Negara-negara maju, termasuk Singapura, umumnya punya UU Mortgage. Yang terbaru adalah UU Mortgage di Dubai. Sejak itu, penjualan properti di Dubai naik 55 persen. UU Mortgage tersebut sangat ketat dalam menetapkan syarat orang yang bisa mendapat mortgage.

Dengan keluarnya "jalan baru" pada 1980 itu, terbuka peluang untuk menaikkan bunga. Bisnis yang terkait dengan perumahan kembali hidup. Bank bisa dapat peluang bunga tambahan. Bank menjadi lebih agresif. Juga para broker dan bisnis lain yang terkait.

Tapi, karena semua orang sudah punya rumah, tetap saja ada hambatan. Maka, ada lagi "jalan baru" yang dibuat pemerintah enam tahun kemudian. Yakni, tahun 1986.

Pada 1986 itu, pemerintah menetapkan reformasi pajak. Salah satu isinya: pembeli rumah diberi keringanan pajak. Keringanan itu juga berlaku bagi pembelian rumah satu lagi. Artinya, meski sudah punya rumah, kalau mau beli rumah satu lagi, masih bisa dimasukkan dalam fasilitas itu.

Di negara-negara maju, sebuah keringanan pajak mendapat sambutan yang luar biasa. Di sana pajak memang sangat tinggi. Bahkan, seperti di Swedia atau Denmark, gaji seseorang dipajaki sampai 50 persen. Imbalannya, semua keperluan hidup seperti sekolah dan pengobatan gratis. Hari tua juga terjamin.

Dengan adanya fasilitas pajak itu, gairah bisnis rumah meningkat drastis menjelang 1990. Dan terus melejit selama 12 tahun berikutnya. Kredit yang disebut mortgage yang biasanya hanya USD 150 miliar setahun langsung menjadi dua kali lipat pada tahun berikutnya. Tahun-tahun berikutnya terus meningkat lagi. Pada 2004 mencapai hampir USD 700 miliar setahun.

Kata "mortgage" berasal dari istilah hukum dalam bahasa Prancis. Artinya: matinya sebuah ikrar. Itu agak berbeda dari kredit rumah. Dalam mortgage, Anda mendapat kredit. Lalu, Anda memiliki rumah. Rumah itu Anda serahkan kepada pihak yang memberi kredit. Anda boleh menempatinya selama cicilan Anda belum lunas.

Karena rumah itu bukan milik Anda, begitu pembayaran mortgage macet, rumah itu otomatis tidak bisa Anda tempati. Sejak awal ada ikrar bahwa itu bukan rumah Anda. Atau belum. Maka, ketika Anda tidak membayar cicilan, ikrar itu dianggap mati. Dengan demikian, Anda harus langsung pergi dari rumah tersebut.

Lalu, apa hubungannya dengan bangkrutnya investment banking seperti Lehman Brothers?

Gairah bisnis rumah yang luar biasa pada 1990-2004 itu bukan hanya karena fasilitas pajak tersebut. Fasilitas itu telah dilihat oleh "para pelaku bisnis keuangan" sebagai peluang untuk membesarkan perusahaan dan meningkatkan laba.

Warga terus dirangsang dengan berbagai iklan dan berbagai fasilitas mortgage. Jor-joran memberi kredit bertemu dengan jor-joran membeli rumah. Harga rumah dan tanah naik terus melebihi bunga bank.

Akibatnya, yang pintar bukan hanya orang-orang bank, tapi juga para pemilik rumah. Yang rumahnya sudah lunas, di-mortgage-kan lagi untuk membeli rumah berikutnya. Yang belum memenuhi syarat beli rumah pun bisa mendapatkan kredit dengan harapan toh harga rumahnya terus naik. Kalau toh suatu saat ada yang tidak bisa bayar, bank masih untung. Jadi, tidak ada kata takut dalam memberi kredit rumah.

Tapi, bank tentu punya batasan yang ketat sebagaimana diatur dalam undang-undang perbankan yang keras.

Sekali lagi, bagi orang bisnis, selalu ada jalan. ;-)

Jalan baru itu adalah ini: bank bisa bekerja sama dengan "bank jenis lain" yang disebut investment banking.

Apakah investment banking itu bank?

Bukan. Ia perusahaan keuangan yang "hanya mirip" bank. Ia lebih bebas daripada bank. Ia tidak terikat peraturan bank. Bisa berbuat banyak hal: menerima macam-macam "deposito" dari para pemilik uang, meminjamkan uang, meminjam uang, membeli perusahaan, membeli saham, menjadi penjamin, membeli rumah, menjual rumah, private placeman, dan apa pun yang orang bisa lakukan. Bahkan, bisa melakukan apa yang orang tidak pernah memikirkan! Lehman Brothers, Bear Stern, dan banyak lagi adalah jenis investment banking itu.

Dengan kebebasannya tersebut, ia bisa lebih agresif. Bisa memberi pinjaman tanpa ketentuan pembatasan apa pun. Bisa membeli perusahaan dan menjualnya kapan saja. Kalau uangnya tidak cukup, ia bisa pinjam kepada siapa saja: kepada bank lain atau kepada sesama investment banking. Atau, juga kepada orang-orang kaya yang punya banyak uang dengan istilah "personal banking".

Saya sering kedatangan orang dari investment banking seperti itu yang menawarkan banyak fasilitas. Kalau saya mau menempatkan dana di sana, saya dapat bunga lebih baik dengan hitungan yang rumit. Biasanya saya tidak sanggup mengikuti hitung-hitungan yang canggih itu.

Saya orang yang berpikiran sederhana. Biasanya tamu-tamu seperti itu saya serahkan ke Dirut Jawa Pos Wenny Ratna Dewi. Yang kalau menghitung angka lebih cepat dari kalkulator. Kini saya tahu, pada dasarnya dia tidak menawarkan fasilitas, tapi cari pinjaman untuk memutar cash-flow.

Begitu agresifnya para investment banking itu, sehingga kalau dulu hanya orang yang memenuhi syarat (prime) yang bisa dapat mortgage, yang kurang memenuhi syarat pun (sub-prime) dirangsang untuk minta mortgage.

Di AS, setiap orang punya rating. Tinggi rendahnya rating ditentukan oleh besar kecilnya penghasilan dan boros-tidaknya gaya hidup seseorang. Orang yang disebut prime adalah yang ratingnya 600 ke atas. Setiap tahun orang bisa memperkirakan sendiri, ratingnya naik atau turun.

Kalau sudah mencapai 600, dia sudah boleh bercita-cita punya rumah lewat mortgage. Kalau belum 600, dia harus berusaha mencapai 600. Bisa dengan terus bekerja keras agar gajinya naik atau terus melakukan penghematan pengeluaran.

Tapi, karena perusahaan harus semakin besar dan laba harus kian tinggi, pasar pun digelembungkan. Orang yang ratingnya baru 500 sudah ditawari mortgage. Toh kalau gagal bayar, rumah itu bisa disita. Setelah disita, bisa dijual dengan harga yang lebih tinggi dari nilai pinjaman. Tidak pernah dipikirkan jangka panjangnya.

Jangka panjang itu ternyata tidak terlalu panjang. Dalam waktu kurang dari 10 tahun, kegagalan bayar mortgage langsung melejit. Rumah yang disita sangat banyak. Rumah yang dijual kian bertambah. Kian banyak orang yang jual rumah, kian turun harganya. Kian turun harga, berarti nilai jaminan rumah itu kian tidak cocok dengan nilai pinjaman. Itu berarti kian banyak yang gagal bayar.

Bank atau investment banking yang memberi pinjaman telah pula menjaminkan rumah-rumah itu kepada bank atau investment banking yang lain. Yang lain itu menjaminkan ke yang lain lagi. Yang lain lagi itu menjaminkan ke yang berikutnya lagi. Satu ambruk, membuat yang lain ambruk. Seperti kartu domino yang didirikan berjajar. Satu roboh menimpa kartu lain. Roboh semua.

Berapa ratus ribu atau juta rumah yang termasuk dalam mortgage itu? Belum ada data. Yang ada baru nilai uangnya. Kira-kira mencapai 5 triliun dolar. Jadi, kalau Presiden Bush merencanakan menyuntik dana APBN USD 700 miliar, memang perlu dipertanyakan: kalau ternyata dana itu tidak menyelesaikan masalah, apa harus menambah USD 700 miliar lagi? Lalu, USD 700 miliar lagi?
Itulah yang ditanyakan anggota DPR AS sekarang, sehingga belum mau menyetujui rencana pemerintah tersebut. Padahal, jumlah suntikan sebanyak USD 700 miliar itu sudah sama dengan pendapatan seluruh bangsa dan negara Indonesia dijadikan satu.

Jadi, kita masih harus menunggu apa yang akan dilakukan pemerintah dan rakyat AS. Kita juga masih menunggu data berapa banyak perusahaan dan orang Indonesia yang "menabung"-kan uangnya di lembaga-lembaga investment banking yang kini lagi pada kesulitan itu.

Sebesar tabungan itulah Indonesia akan terseret ke dalamnya. Rasanya tidak banyak, sehingga pengaruhnya tidak akan sebesar pengaruhnya pada Singapura, Hongkong, atau Tiongkok.

Singapura dan Hongkong terpengaruh besar karena dua negara itu menjadi salah satu pusat beroperasinya raksasa-raksasa keuangan dunia. Sedangkan Tiongkok akan terpengaruh karena daya beli rakyat AS akan sangat menurun, yang berarti banyak barang buatan Tiongkok yang tidak bisa dikirim secara besar-besaran ke sana. Kita, setidaknya, masih bisa menanam jagung. :-)