Yup, judul di atas adalah judul sebuah buku yang baru saja saya selesaikan. Dari sekian banyak buku yang sudah saya baca beberapa bulan ini, buku ini yang pantas membuat saya menangis. He...he...asli saya menangis baca buku ini. Karena begitu berarti kisahnya, saya rela deh buat nulis resumenya di blog ini (biasanya saya paling susah kalau disuruh nulis. Beneran loh...satu tulisan aja bisa memakan waktu 1 sampai 3 jam buat saya! ) . Kisahnya mirip cerita Laskar Pelangi & Sang Pemimpi-nya Andrea Hirata. Sama-sama kisah nyata, bedanya cerita dalam buku ini masih berlangsung sampai hari ini saya menulis. Saya percaya dengan apa yang disampaikan dalam buku ini karena waktu kuliah saya pernah mengalami keadaan yang mirip seperti anak-anak Pak Budi hanya beda versi kali ya...
Buku ini berkisah tentang perjuangan seorang Bapak bernama Budi Setiadi yang tinggal di daerah Surakarta. Seorang Bapak yang tidak pernah mengalah dengan segala keterbatasan yang dimilikinya demi untuk mengantarkan anak-anaknya meraih cita-cita. Penghasilan rata-rata Bapak enam orang anak ini sebesar Rp 450.000,- per bulan. Bisa dibayangkan kan...gimana ya...kehidupan Bapak ini sehari-harinya. Ia beristrikan seorang muslimah yang taat beribadah, tapi mengalami ujian dengan sakit yang diderita cukup lama. Pak Budi bekerja sebagai penarik iuran pedagang pasar di Pasar Klewer, Surakarta.
Apa yang membuat Bapak ini menjadi sosok yang luar biasa adalah selain kemampuannya untuk bertahan hidup dengan keenam anaknya, juga kemampuannya mengantarkan mereka mengenyam bangku pendidikan formal. Bahkan anak-anaknya bersekolah di lembaga pendidikan favorit seperti UGM, ITB, dan Smart Excellentia (Insan Cendekia). Coba simak apa yang dikatakannya: "Siapa bilang orang miskin nggak bisa sekolah sampai perguruan tinggi?"
Sebuah pepatah bijak mengatakan: "Orang lemah yang optimis, lebih baik daripada orang yang mampu namun pesimis. Optimis terkadang mengubah kelemahan menjadi sebuah kekuatan."
Buku ini berisi 180 halaman & 6 Bab. Bab pertama bercerita tentang Sosok pribadi Pak Budi. Seorang Bapak yang hidupnya banyak mendapatkan ujian, namun selalu tegar karena ia berprinsip "Di balik kesulitan pasti ada kemudahan". Hmm...saya yakin Bapak ini seorang yang pandai bergaul & menuntut ilmu dengan benar (meski tidak melalui pendidikan formal). Buktinya darimana seorang tamatan SMA bisa mengetahui banyak hal bahkan bisa menerapkan pepatah-pepatah yang benar.
Bab kedua bercerita tentang anak pertama sampai keenam. Anak-anak brilian mesti hidup tanpa berlian. Bab kedua ini sungguh memperlihatkan betapa pak Budi benar-benar memiliki Visi yang jelas untuk anak-anaknya. Bahkan sampai mau menggali lebih dalam karakter, minat, dan cara belajar anak-anaknya.
Bab ketiga tentang cara mendidik anak versi Pak Budi. Bab ini benar-benar membuat saya tidah habis pikir bagaimana ia membagi waktu antara bekerja mencari nafkah, mengurus istri yang sakit yang terus terbaring di tempat tidur, sampai menemani & membimbing anak-anaknya belajar. Semuanya dilakukan dengan sabar dan terus-menerus. Benar-benar wooow....
Bab keempat bercerita tentang kemudahan-kemudahan yang didapat Pak Budi dari Allah SWT. Soo...amazing...Subhanallah...
Bab kelima tentang memanfaatkan fasilitas, antara lain INTERNET. Ya, meski miskin & hidup pas-pasan, Pak Budi nggak gaptek. Ia belajar dari anak-anaknya tentang internet & berhasil memanfaatkannya untuk mencari beragam informasi, termasuk beasiswa bagi anak-anaknya.
Bab keenam berisi sedikit ulasan dari penerbit tentang sosok Pak Budi. Allah SWT telah memberikan bekal atau potensi kecerdasan kepada anak-anak Pak Budi. Dari keenam anaknya hanya satu yaitu anak pertama yang berIQ normal (90), lima lainnya berIQ Superior. Namun demikian bukan berarti serta merta mereka bisa langsung berprestasi. Banyak proses yang harus dijalani. Pola pengasuhan yang penuh kasih sayang, motivasi yang tiada henti, dan keuletan dalam berusaha yang diberikan oleh Pak Budi dalam mendidik anak-anaknya menjadikan mereka tumbuh menjadi anak-anak yang sehat dalam hal IQ, emosi, dan spiritual. Oh ya, anak pertama yang berIQ normal itu sekarang sudah menyandang gelar sarjana teknik UGM dan sedang mempersiapkan diri untuk melanjutkan S2 di Jerman.
Pak Budi selalu meluangkan waktu yang cukup untuk anak-anaknya. Sehingga ia bisa memonitor secara langsung perkembangan anak-anaknya dan mengetahui dengan segera apa yang mereka butuhkan. Pak Budi selalu merasa bahwa anak-anak adalah yang utama. Mengenai pekerjaan, dia bisa mendapatkannya dari tempat lain. Coba simak apa yang dikatakannya: "Percuma jika membanting tulang demi kepentingan anak, tapi malah membuat pendidikan dan kasih sayang untuk mereka menjadi terabaikan."
Akhir kata buku ini menegaskan sekali lagi sebuah prinsip "BIAR MISKIN, ANAK HARUS TETAP SEKOLAH!!!"
Salam,
Febby Rudiana